![]() |
||
Tenun Di Minangkabau Siapa tak kenal songket Pandai Sikek, luhak Agam, dan songket produk Kubang, Luhak LimaPuluh Kota serta songket keluaran Silungkang, Sawah Lunto. Mengacu JL Van Seven hoven (1822) sebagaimana dikutip Yudi Syorofi (2007), songket secara etimologi: berasal dari kata disongsong dan di-teket. Bila dipertautkan kedua kata itu, berarti sulam. Maksudnya? Untuk menyulam sehelai kain tenun, dilakukan dengan cara diterima atau disongsong. Sehingga songket berarti kain yang (pembuatannya) disongsong/diterima dan disulam. Ada lagi yang menyebut kata songket berasal dari kata: “tusuk” dan “cukit” kemudian berubah menjadi “sungki” dan akhirnya menjelma menjadi “songket” sebagaimana yang kita kenal sekarang. Namun dalam konteks sejarahnya, istilah songket baru menggeliat sejak awal abad 19 M. Sedang tempo doeloe para leluhur kita menyebutnya: “kain babanang ameh” (kain berbenang emas) Pasalnya? Karena memang terbuat dari benang emas! Semula kain tenun hanya polos, tapi perkembangan selanjutnya terus disempurnakan sesuai selera konsumen yang kian beranjak maju. Misalnya disertai/dihias dengan benang emas itu tadi. Motif pun diatur apik sehingga menempati posisi tertentu. Sebut saja pada bagian pinggir kain; badan kain; dan kepala kain. Dan, penempatan benang emas sebagai pembentukan motif menjadikan kain tenun tampil semakin anggun, “tacelak” (tercelak), berkemilau dan berdaya pukau tinggi! Beranjak dari hal-hal di atas, dan dalam pendekatan budaya (culture approach), negeri kita tercatat sebagai negara penghasil tenun—cukup produktif di seantero dunia. Khususnya dalam keaneka-ragaman hiasan itu tadi. Dan, menelisik perkembangannya, kreasi para penenun tersebut, banyak dipegaruhi oleh unsur-unsur budaya asing. Hal ini disebabkan hubungan perdagangan yang cukup harmonis dan kondusif dengan negara lain tersebut. Sebut saja India, Banglades, Kasmir, China dan lainnya—yang telah berjalin-kelindan sejak beratus tahun yang lalu. Sekali lagi, kondisi sosial objektif-historis itu, mengunjukkan sumbangan cukup signifikan bagi kekayaan keaneka-ragaman jenis tenun anak bangsa. Pada awalnya para penenun generasi pendahulu, hanya bergelut dengan benang dan kapas sebagai bahan baku primer. Namun setelah bertautnya hubungan perdagangan dengan India, Banglades, Kasmir, China dan lainnya—belakangan juga beberapa negara di Eropah sebagaimana dibilang di muka, sepertinya ikut memengaruhi hasil tenununan anak negeri ini. Indikasinya? Hasil tenun berkembang menjadi lebih komplek, indah dengan kemilau benang emas dan warna warni yang didapatkan dari benang sutra,walau kiat menganyam sehelai tenun misalnya, terkesan kian rumit. Namun, pengaruh budaya asing tadi, riskan juga untuk ditampik telah memberikan wajah dan kreasi baru bagi produk tenun para pengrajin. Dan yang membuat nafas jadi lega—tidak saja segi teknik tenunan yang kian memparkaya pengrajin, ragam hias tenunan juga semakin bervariasi. Hasil kongkretnya, tenunan yang semula hanya menggunakan benang kapas dengan warna suram dan samar, menjadi lebih berwarna. Sehingga tenunan nampak lebih dinamik, hidup, bergairah dan menawan! Lebih uniknya lagi, setiap ragam yang terselip pada sehelai kain tenun, sebenarnya mengandung sepercik nilai-nilai sarat makna. Kebermaknaan tersebut, tidak lain adalah sebagai wujud dari budaya minangkabau pada masa lampau. Proses pembutan sehelai kain tenun yang rumit—baik ketika membubuhi warna maupun berupa ragam hias yang menggunakan peralatan dan bahan khusus telah memberikan nilai tambah estetika pada karya seni tenun tersebut. |
![]() |